Mereka berteriak menyuarakan takbir. Beduk dipukul, kentongan tak dilupakan, dan entah alat apalagi yang mereka gunakan.
Pintu kamar yang sedari tadi tertutup, terbuka. Muncul sesosok bocah dengan ekspresi kagetnya. Kulihat tangan kirinya sudah menggenggam kopiah bulat putih. Ia sudah mengganti pakaiannya dengan pakaian takwa dan
celana panjang cokelat.
"Mau kemana ?"
"Ikut takbiran!" Ia berjalan cepat. Sampai di pintu, ia kembali lagi.
Ia raih tanganku lantas menciumnya.
Tak hanya itu, ia mencium pipiku, dan berteriak,
"Assalamualaikuuuummmmm!"
Punggung si kecil tak lagi kulihat ketika barisan pasukan penyeru takbir itu melintasi rumah. Ia tenggelam bersama sekian banyak orang.
Barisan itu menjauh. Suara ramai mulai terdengar lemah.
Kembali sepi. Hanya detak jam dinding dan gesekan angin pada daun-daun di pelataran.
Tiba-tiba aku menitikkan air mata. Ada yang tak membuatku tenang malam ini. Sesuatu yang sudah kuduga. Sebuah deru mobil, kenapa tak juga kudengar bunyi itu ? kenapa sampai detik ini tak juga kutemukan pengendara mobil itu ?
Sebulan ini aku hanya menyiapkan hidangan sahur dan berbuka untuk pangeran kecilku. Bocah itu satu-satunya yang kumanjakan dan kulayani.
Ia begitu bersemangat melalui bulan puasa. Usianya baru lima tahun, tapi ia sudah bisa berpuasa sehari penuh.
Duhai anakku tak tahukah kamu bahwa Bunda berbalik dengan apa yang kamu rasakan ? Bunda tak berdaya, tak bisa apa-apa. Dulu ketika Bunda ada di usiamu, Bunda tak memperjuangkan puasa sesemangat dirimu. Ketika beduk Dzuhur tiba Bunda makan dan minum sebanyak mungkin.
Mungkin, tanpa seseorang itu kau jauh lebih dewasa dan mengerti ...
Kenapa ia tak merasakan kekosongan seperti apa yang aku rasakan ?
Apakah anakku tak merindukan deru mobil dari arah luar pagar itu terdengar ?
Sesosok gagah dengan bungkusan di kantong plastik, membawakanmu buah, minuman kaleng atau coklat ?
Kenapa kau tak rasakan apapun ?
Ah, ya Tuhan ... jangan lupa bahwa ia masih belum utuh menjadi manusia.
Ibarat bulan, ia belum bulan purnama, ia masih sabit yang mencoba menunggu waktu menjadi bulat dan padat.
Sedangkan aku, aku sudah matang bahkan mendekati busuk, aku sudah banyak melalui jalan terjal, termasuk mengambil resiko menikah dengannya !
Akankah dia datang hari ini ?
Atau besok mungkin ?
Aku dan Raihan, ah tidak, hanya aku. Ya hanya aku yang menunggunya.
Raihan sibuk dengan pikiran dan kebahagiaannya sendiri.
Untuk sekadar bertanya kemana ayahnya, rasanya jiwa sucinya tak punya waktu memikirkan itu.
Benar, hanya aku yang menunggumu, ternyata. Hanya aku ...
Tak tahulah, aku ingin sekali kau datang dan memelukku erat. Kau kecup keningku dan membisikkan kalimat rindu di telingaku.
Kau tersenyum ramah, membuka oleh-oleh baju baru untukku dan baju baru untuk Raihan.
Kau juga memberiku uang persiapan Lebaran. Esok hari kita akan makan bersama-sama.
Adakah kau datang, esok hari saat aku kembali bersih dari dosa ? Aku ingin mencium tanganmu pertama kali dalam keadaan suciku . Aku ingin kau mencium keningku dan mengatakan kau pun memaafkan segala khilafku.
Lantas, kau gendong Raihan, sampai dia tergelak. Kau ciumi wajahnya, "Ayaaah, geli!"
Aku menangis, aku tak tahu kenapa aku begitu hancur karena keinginan yang membumbung. Aku tahu aku harus tegar dan bersabar. Tak bisa bila aku memaksanya untuk selalu datang tepat waktu. Aku tahu posisiku. Aku tahu sebagai apa aku buatnya. Tapi entahlah hari ini seolah aku tak tahu semua itu.
Aku tak mau tahu hal yang sudah menjadi perjanjianku dengannya.
Aku juga tak mau tahu konsekuensi yang pernah kuutarakan kepadanya dulu.
Kemanusiaanku benar-benar mengadiliku hari ini.
Hatiku meronta. Cinta yang merasuki tubuhku menggeliat mengharap secercah harapan.
"Bunda, banguuunn !" Ada yang mengguncang tubuhku. Bocah kecilku, "Bun
bangun, Bunda besok Lebaran! Masak tidur sih!".
Aku menggeliat, menguap sedikit. Kukucek mataku. Aku lihat baju Raihan kotor, wajahnya kusam. Selepas Isya dia langsung berangkat bertakbir.
Kulihat jam di dinding, ini pukul setengah tiga, dini hari !
"Raihan, kamu baru pulang ?
Dari mana saja kamu ?"
"Dari ikut takbiran."
"Tapi ini jam berapa ? Kamu berangkat sejak jam tujuh !"
Kulepas kopiahnya, "Lihat, badanmu kotor!" Entah kenapa, aku emosi melihat anakku kotor begini. Mungkin karena perasaanku labil dan belum
sepenuhnya tersadar dari tidur. Aku mencubitnya bahkan memukul lengannya.
"Bunda, jangan marah-marah. Sekarang kan lebaran ..." suaranya pelan.
Tersadarlah aku seketika. Kutatap wajahnya yang polos dan lugu. Hanya
menunduk, tak berani menatapku.
Laki-laki kecil itu seolah melihatku bukan sebagai ibunya, melainkan seseorang yang menyakitinya.
Ia memejamkan mata menahan sakit, serta merta kupeluk dia seerat-eratnya. "Maafkan Bunda sayang. Maafkan Bunda ."
****
"Bunda " Ia berputar-putar di depanku. "Masih bagus, ya ?"
Kutatap Raihan yang tampak lebih tampan. Ia menggemaskan. Senyumnya yang rekah membuatku ingin mencubit pipinya. Sarung kotak-kotak dan baju takwa hijau membalut tubuhnya yang mungil. Baju itu aku yang membelikan, tahun lalu.
"Bunda juga cantik ..."
Aku tersenyum. Ia menghinaku hari ini. Baju ini sudah sering kukenakan.
Aku bahkan masih ingat ketika Raihan berkomentar pada suatu hari, "Bunda, bajunya kok ini terus ? Bosan !"
Aku tertawa kecil.
Kusongsong anakku, kupelototi,
"Awas ya ! Bohongnya kelihatan!"
Ia menggeleng, "Raihan enggak bohong Bun!. Bunda cantik."
Kugendong ia. Kuciumi pipinya sambil menggelitiki tubuhnya. Ia menjerit-jerit geli.
Kau tak tahu, sebenarnya kita berhak mendapatkan kasih sayang yang hilang itu.
Keluarga ini masih kurang satu orang ayahmu. Ya, bila ayahmu datang, makin lengkaplah kebahagiaan kita.
Kau tak perlu mengenakan pakaian tahun lalu, Bunda pun tak perlu kenakan pakaian sehari-hari ini.
Aku tak lupa, kalau sangat mungkin ia melupakanku dan Raihan.
Sangat mungkin ia menaruhku dan Raihan pada kepentingan yang kesekian.
Bukankah sudah hal biasa bila aku dan Raihan tak mendapatkan oleh-oleh Lebaran ?
Ia hanya akan memberiku sejumlah uang untuk membeli apa yang kubutuhkan
di rekening bank.
Itu pun terkadang terlambat. Entahlah perhatiannya timbul tenggelam.
Aku makin yakin waktu dan jarak membuat cintanya padaku dan Raihan memudar perlahan-lahan ...
Menuntut ? Apa yang bisa kulakukan ? tak ada bukti surat-surat aku menikah dengannya yang bisa menguatkanku untuk meminta hakku sebagai istri.
Ia menikahiku secara siri. Hanya ada beberapa orang yang datang.
Tampaknya aku akan terlunta-lunta seperti ini seterusnya. Bahkan bisa-bisa aku tinggal menunggu waktu kapan ia akan menutup pintu hatinya untukku dan Raihan.
"Bunda, apa Ayah akan datang ?" Tiba-tiba Raihan menanyaiku.
Aku tak bisa memberi jawaban. Kutatap mata bening itu lekat-lekat.
Apa kau rindu padanya, sayang ? Seperti Bunda amat merindukannya ? Aku menikahinya karena tulus hatiku mencintainya. Walaupun aku tahu ia punya orang-orang yang harus ia ayomi.
Kali ini aku tak bisa berbohong pada Raihan. Aku menangis di depannya. Aku menangis seperti bayi yang minta disusui ibunya. Aku tak tahan dengan keadaan ini. Aku ingin lepas dari ketidakberdayaan yang berkepanjangan ini.
****
Ia masih belum juga datang. Aku melalui hari-hari bersejarah ini hanya berdua dengan anakku Raihan. Kuajak dia anjangsana ke tetangga, kuajak dia ke taman hiburan di kota. Kubuatkan opor ayam dan ketupat ala kadarnya dari sisa tabunganku.
Aku mendapinginya, menemaninya. Kuceritakan banyak hal lucu dan pengalaman berharga padanya. Sampai hari ketujuh belas paska lebaran, ia tak juga datang.
Tiba-tiba terdengar mobil di luar pagar. Hatiku berdegup kencang.
Deru mobil yang sangat kukenal itu memasuki pelataran rumah. Raihan yang semula terlelap sampai terbangun.
Langkahku pelan menuju ruangan depan. Kudengar pintu diketuk. Raihan membuntutiku dari belakang. Kubuka pintu itu perlahan.
Betapa kaget aku saat melihat laki-laki yang kurindukan dan kuharapkan
datang itu berdiri di depan pintu rumah. Ia tersenyum. Kucium tangannya kubiarkan ia memelukku. Raihan bergeming di posisinya.
"Raihan, salim sama Ayah."
Wajah Raihan malas, mungkin karena bangun tidur.
Ia menggeleng-geleng tak mau. Mas Regawa memahami.
"Mungkin dia mengantuk," katanya. Ah, ya, semoga saja ia memang sedang mengantuk.
Mas Regawa masuk, ia duduk di sofa ruang tamu. Aku ke belakang untuk
Membuatkan kopi kesukaannya "Enggak usah Ocha ! Aku cuma sebentar ..."
Langkahku terhenti. sebentar ?
"Cuma mau sungkem-sungkeman. Oh, ya, uang yang kuberikan sudah habis ?"
Ia membuka tasnya, mengeluarkan amplop coklat, "Ini kutambah, aku harus kembali."
Tak ada yang bisa kukatakan. Laki-laki itu meletakkan amplop berisi
uang. Ia bangkit mendekatiku, hendak menciumku.
Aku mendorongnya sampai ia mundur beberapa langkah. Suasana hening, tegang. Raihan berdiri menatapku dan Mas Regawa bergantian.
"Jangan lupa, ini sudah dua minggu lebih paska lebaran! Jangan lupa juga sebulan penus Mas tidak datang kemari! Harga cinta dan kerinduan kami tidak akan terbayar dengan uang Mas itu!" ucapku tegas. Kugandeng
Raihan masuk ke dalam kamar dan kukunci dari dalam.
Kupeluk Raihan erat-erat. Lagi-lagi aku menangis.
Beberapa saat kemudian terdengar deru mobil. Ia pergi ...
sumber : http://c-cerpen.blogspot.com
Program Miliarder Bergaransi
Tutorial Bisnis Online
Tutorial Website Instant Bergaransi
Tutorial Bisnis Online
No comments:
Post a Comment