Kayaknya jabat tangan dah wajar ya kita lihat dimana-mana, baik cowok-cewek, bapak-bapak serta ibu-ibu dimana-mana. Dikantor-kantor di sekolah, di jalan-jalan. Sebenarnya bagaimana sih pandangan Islam tentang hukum bersalaman dengan lawan jenis terutama yang bukan muhrimnya ? Kita belum membahas cipika-cipiki lho, jabat tangan dulu apa hukumnya. Karena cipika-cipiki kayaknya juga sedikit sudah membudaya di Indonesia. Mari kita simak bersama berikut ini :
Ekoran tuduhan yang berlaku daripada golongan-golongan yang menyesatkan suatu gerakan lain, dikeranakan gerakan lain tersebut tidak sependapat dengannya dalam masalah furu’ (cabang), saya ingin mengetangahkan satu pembahasan tentangnya dari sudut ilmiyah. Apakah benar dakwaan mereka, yang sememangnya hanya merupakan benih kepada permusuhan, tanpa adanya argumentasi syar’e dalam mengetengahkan hujah. Bahkan, mungkin ramai di antara kaum muslimin berpendapat bahawa haram bagi lawan jenis bersalaman hatta ada yg keliru apakah hukum bagi situasi ini. Di sini, saya berusaha utk menjelaskan beberapa pendapat ulama’ berkenaan bersalaman lawan jenis yg bukan mahram dan hukum tarjih serta pendapat yg lebih arjih dlm membahaskannya….
Pembahasan hukum berjabat tangan antara lawan jenis yang bukan mahram memerlukan kajian yang kritis dan mendalam sebelum menyimpulkan, kerana terdapat cukup banyak dalil-dalil syara yang digunakan untuk membahas permasalahan ini. Akibatnya para ulama yang membahas masalah ini berbeza pendapat tentang hukumnya. Ada yang mengharamkannya dan ada pula yang mengatakan bahwa hukumnya mubah (boleh).
Dalil-Dalil, Serta Argumentasi Yang Digunakan Oleh Masing-Masing Pendapat
Dalil-dalil yang dikemukakan oleh pendapat yang mengharamkannya adalah sebagai berikut:
Pertama, beberapa riwayat dari ‘Aisyah r.a. yaitu:
Telah berkata ‘Aisyah: “Tidak pernah sekali-kali Rasulullah Saw menyentuh tangan seorang wanita yang tidak halal baginya.” [HR. Bukhari Muslim].
Telah berkata ‘Aisyah: “Tidak! Demi Allah, tidak pernah sekali-kali tangan Rasulullah Saw menyentuh tangan wanita (asing), hanya ia ambil bai’at mereka dengan perkataan.” [HR. Bukhari Muslim].
Menurut mereka Hadits-hadits di atas dan serupa dengannya merupakan dalil yang nyata bahwa Rasulullah Saw tidak berjabat tangan dengan wanita bukan mahram (asing). Kerana itu maka hukum berjabat tangan antara lawan jenis yang bukan mahram adalah haram.
Kedua, hadits-hadits yang menunjukkan larangan ‘menyentuh wanita’ serta hadits-hadits lain yang maknanya serupa. Misalnya hadits shahih yang berbunyi:
“Ditikam seseorang dari kalian dikepalanya dengan jarum dari besi, itu lebih baik dari pada menyentuh seorang wanita yang tidak halal baginya.” [HR. Thabrani].
Atau hadits yang berbunyi:
“Lebih baik memegang bara api yang panas dari pada menyentuh wanita yang bukan mahram.”
Ketiga, juga di dasarkan pada sabda Rasulullah Saw yakni:
“Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita.” [HR. Malik, Tirmidzi dan Nasa’i].
Sedangkan pendapat yang membolehkan dasarnya adalah riwayat yang menunjukkan bahwa tangan Rasulullah Saw bersentuhan (memegang) tangan wanita.
Pertama, diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyah r.a. yang berkata:
“Kami membai’at Rasulullah Saw, lalu Beliau membacakan kepadaku ‘Janganlah kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu’, dan melarang kami melakukan ‘nihayah’ (histeris menangis mayat), kerana itulah seorang wanita dari kami menggenggam (melepaskan) tangannya (dari berjabat tangan) lalu wanita itu berkata: ‘Seseorang (perempuan) telah membuatku bahagia dan aku ingin (terlebih dahulu) membalas jasanya’ dan ternyata Rasulullah Saw tidak berkata apa-apa. Lalu wanita itu pergi kemudian kembali lagi.” [HR. Bukhari].
Hadits ini menunjukkan bahwasanya kaum wanita telah berbai’at dengan berjabat tangan. Kata ‘qa ba dha’ dalam hadits ini memiliki arti menggenggam/melepaskan tangan. Seperti disebutkan di dalam kamus yang berarti menggenggam sesuatu, atau melepaskan (tanganya dari memegang sesuatu). (Lihat A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir, hal. 1167). Hadits ini jelas-jelas secara manthuq (tersurat) artinya ‘menarik kembali tangannya’ menunjukkan bahwa para wanita telah berbai’at dengan berjabat tangan, sebab tangan salah seorang wanita itu digenggamnya/dilepaskannya setelah ia mengulurkannya hendak berbai’at. Selain itu dari segi mafhum (tersirat) juga dipahami bahwa para wanita yang lain pada saat itu tidak menarik (menggenggam) tangannya, artinya tetap melakukan bai’at dengan tangan terhadap Rasulullah Saw. Jadi hadits ini menunjukkan secara jelas –baik dari segi manthuq (tersurat) maupun mafhum (tersirat)– bahwa Rasulullah Saw telah berjabat tangan dengan wanita pada saat bai’at (Lihat Taqiyuddin An-Nabhani, Nidzham Ijtima’i Fil Islam, hal. 57 – 58, 71 – 72).
Penjelasan ini juga sekaligus membantah yang mengatakan: “Yang dimaksud dengan genggaman tangan dalam hadits tersebut adalah ‘penerimaan yang terlambat’.” Seperti yang dikemukakan golongan yang mengharamkan jabat tangan. (Lihat Muhammad Ismail, Berjabat Tangan Dengan Perempuan, hal. 34). Sebab kata ‘genggam tangan’ dalam hadits tersebut tidak memiliki erti selain ‘berjabat tangan’. Dan tidak bisa difahami/diterima dari segi bahasa kalau diartikan ‘penerimaan yang terlambat’. Kata ‘qa ba dha’ juga sering ditemukan dalam hadits-hadits lain yang artinya menggenggam dengan tangan, misalnya, diriwayatkan oleh Abu Bakar r.a. dari Ibnu Juraij yang menceritakan, Bahwa ‘Aisyah r.a. berkata: “Suatu ketika datanglah anak perempuan saudaraku seibu dari Ayah Abdullah bin Thufail dengan berhias. Ia mengunjungiku, tapi tiba-tiba Rasulullah Saw masuk seraya membuang mukanya. Maka aku katakan kepada beliau ‘Wahai Rasul, ia adalah anak perempuan saudaraku dan masih perawan(anak dara)’.” Beliau kemudian bersabda:
“Apabila seorang wanita telah sampai usia baligh maka tidak boleh ia menampakkan anggota badanya kecuali wajahnya dan selain ini –digenggamnya pergelangan tangannya sendiri– dan dibiarkannya genggaman antara telapak tangan yang satu dengan genggaman terhadap telapak tangan yang lainnya.” [HR. Ath-Thabari dari ‘Aisyah r.a.].
Hadits yang diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyah r.a. ini yang dijadikan dalil oleh sebahagian ulama yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan mahram. Namun demikian kebolehan tersebut dengan syarat tidak disertai syahwat. Kalau ada syahwat maka hukumnya haram.
Kedua, diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a. yang berkata:
“Seorang wanita mengisyaratkan sebuah buku dari belakang tabir dengan tangannya kepada Nabi Saw. Beliau lalu memegang tangan itu seraya berkata, ‘Aku tidak tahu ini tangan seorang laki-laki atau tangan seorang wanita.’ Dari belakang tabir wanita itu menjawab. ‘Ini tangan seorang wanita’. Nabi bersabda, ‘Kalau engkau seorang wanita, mestinya kau robah warna kukumu (dengan inai).” [HR. Abu Daud].
Sikap Kita Dalam Menghadapi Perbezaan Tersebut
Dalam menghadpi perbezaan tersebut dan pendapat mana yang harus kita ikuti untuk kita amalkan, maka kita harus mengkaji terlebih dahulu pendapat manakah yang lebih kuat dalam hal ini. Untuk itu kita perlu mengkaji manakah dalil yang lebih kuat dari nash-nash yang seolah-olah bertentangan yang digunakan oleh kedua pendapat di atas. Kalau kita perhatikan hadit-hadits yang digunakan oleh kedua pendapat adalah hadits-hadits shahih yang harus diterima kebenarannya. Dalam mensikapi hadits-hadits yang dzahirnya seolah-olah bertentangan, menurut ilmu hadits dan ushul fiqh harus ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:
1. Thariqatul jam’i, yakni menggabungkan dan mengkompromikan dalil-dalil yang ada. Apabila langkah ini tidak bisa dilakukan baru menempuh
2. Nasikh dan Mansukh, apabila tidak bisa dilakukan, ditempuh
3. Tarjih, yakni dengan cara meneliti dan membandingkan mana dalil yang lebih kuat. Dalam hal ini harus dilakukan secara cermat dan teliti serta harus memperhatikan kaidah-kaidah tarjih yang telah digariskan oleh para ulama. Kalau langkah ini sulit dilakukan kerana sama-sama kuat atau masih kabur baru menempuh langkah terakhir
4. Tawaqquf, yaitu menghentikan kajian dalam menggali hukumnya. Namun terus berusaha sampai Allah SWT membukakan persoalan tersebut untuk diketahui. (Lihat Dr. Mahmud Thahan, Taisir Musthalah Hadits, hal. 58).
referensi : http://bahrulfikri.wordpress.com
Ekoran tuduhan yang berlaku daripada golongan-golongan yang menyesatkan suatu gerakan lain, dikeranakan gerakan lain tersebut tidak sependapat dengannya dalam masalah furu’ (cabang), saya ingin mengetangahkan satu pembahasan tentangnya dari sudut ilmiyah. Apakah benar dakwaan mereka, yang sememangnya hanya merupakan benih kepada permusuhan, tanpa adanya argumentasi syar’e dalam mengetengahkan hujah. Bahkan, mungkin ramai di antara kaum muslimin berpendapat bahawa haram bagi lawan jenis bersalaman hatta ada yg keliru apakah hukum bagi situasi ini. Di sini, saya berusaha utk menjelaskan beberapa pendapat ulama’ berkenaan bersalaman lawan jenis yg bukan mahram dan hukum tarjih serta pendapat yg lebih arjih dlm membahaskannya….
Pembahasan hukum berjabat tangan antara lawan jenis yang bukan mahram memerlukan kajian yang kritis dan mendalam sebelum menyimpulkan, kerana terdapat cukup banyak dalil-dalil syara yang digunakan untuk membahas permasalahan ini. Akibatnya para ulama yang membahas masalah ini berbeza pendapat tentang hukumnya. Ada yang mengharamkannya dan ada pula yang mengatakan bahwa hukumnya mubah (boleh).
Dalil-Dalil, Serta Argumentasi Yang Digunakan Oleh Masing-Masing Pendapat
Dalil-dalil yang dikemukakan oleh pendapat yang mengharamkannya adalah sebagai berikut:
Pertama, beberapa riwayat dari ‘Aisyah r.a. yaitu:
Telah berkata ‘Aisyah: “Tidak pernah sekali-kali Rasulullah Saw menyentuh tangan seorang wanita yang tidak halal baginya.” [HR. Bukhari Muslim].
Telah berkata ‘Aisyah: “Tidak! Demi Allah, tidak pernah sekali-kali tangan Rasulullah Saw menyentuh tangan wanita (asing), hanya ia ambil bai’at mereka dengan perkataan.” [HR. Bukhari Muslim].
Menurut mereka Hadits-hadits di atas dan serupa dengannya merupakan dalil yang nyata bahwa Rasulullah Saw tidak berjabat tangan dengan wanita bukan mahram (asing). Kerana itu maka hukum berjabat tangan antara lawan jenis yang bukan mahram adalah haram.
Kedua, hadits-hadits yang menunjukkan larangan ‘menyentuh wanita’ serta hadits-hadits lain yang maknanya serupa. Misalnya hadits shahih yang berbunyi:
“Ditikam seseorang dari kalian dikepalanya dengan jarum dari besi, itu lebih baik dari pada menyentuh seorang wanita yang tidak halal baginya.” [HR. Thabrani].
Atau hadits yang berbunyi:
“Lebih baik memegang bara api yang panas dari pada menyentuh wanita yang bukan mahram.”
Ketiga, juga di dasarkan pada sabda Rasulullah Saw yakni:
“Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita.” [HR. Malik, Tirmidzi dan Nasa’i].
Sedangkan pendapat yang membolehkan dasarnya adalah riwayat yang menunjukkan bahwa tangan Rasulullah Saw bersentuhan (memegang) tangan wanita.
Pertama, diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyah r.a. yang berkata:
“Kami membai’at Rasulullah Saw, lalu Beliau membacakan kepadaku ‘Janganlah kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu’, dan melarang kami melakukan ‘nihayah’ (histeris menangis mayat), kerana itulah seorang wanita dari kami menggenggam (melepaskan) tangannya (dari berjabat tangan) lalu wanita itu berkata: ‘Seseorang (perempuan) telah membuatku bahagia dan aku ingin (terlebih dahulu) membalas jasanya’ dan ternyata Rasulullah Saw tidak berkata apa-apa. Lalu wanita itu pergi kemudian kembali lagi.” [HR. Bukhari].
Hadits ini menunjukkan bahwasanya kaum wanita telah berbai’at dengan berjabat tangan. Kata ‘qa ba dha’ dalam hadits ini memiliki arti menggenggam/melepaskan tangan. Seperti disebutkan di dalam kamus yang berarti menggenggam sesuatu, atau melepaskan (tanganya dari memegang sesuatu). (Lihat A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir, hal. 1167). Hadits ini jelas-jelas secara manthuq (tersurat) artinya ‘menarik kembali tangannya’ menunjukkan bahwa para wanita telah berbai’at dengan berjabat tangan, sebab tangan salah seorang wanita itu digenggamnya/dilepaskannya setelah ia mengulurkannya hendak berbai’at. Selain itu dari segi mafhum (tersirat) juga dipahami bahwa para wanita yang lain pada saat itu tidak menarik (menggenggam) tangannya, artinya tetap melakukan bai’at dengan tangan terhadap Rasulullah Saw. Jadi hadits ini menunjukkan secara jelas –baik dari segi manthuq (tersurat) maupun mafhum (tersirat)– bahwa Rasulullah Saw telah berjabat tangan dengan wanita pada saat bai’at (Lihat Taqiyuddin An-Nabhani, Nidzham Ijtima’i Fil Islam, hal. 57 – 58, 71 – 72).
Penjelasan ini juga sekaligus membantah yang mengatakan: “Yang dimaksud dengan genggaman tangan dalam hadits tersebut adalah ‘penerimaan yang terlambat’.” Seperti yang dikemukakan golongan yang mengharamkan jabat tangan. (Lihat Muhammad Ismail, Berjabat Tangan Dengan Perempuan, hal. 34). Sebab kata ‘genggam tangan’ dalam hadits tersebut tidak memiliki erti selain ‘berjabat tangan’. Dan tidak bisa difahami/diterima dari segi bahasa kalau diartikan ‘penerimaan yang terlambat’. Kata ‘qa ba dha’ juga sering ditemukan dalam hadits-hadits lain yang artinya menggenggam dengan tangan, misalnya, diriwayatkan oleh Abu Bakar r.a. dari Ibnu Juraij yang menceritakan, Bahwa ‘Aisyah r.a. berkata: “Suatu ketika datanglah anak perempuan saudaraku seibu dari Ayah Abdullah bin Thufail dengan berhias. Ia mengunjungiku, tapi tiba-tiba Rasulullah Saw masuk seraya membuang mukanya. Maka aku katakan kepada beliau ‘Wahai Rasul, ia adalah anak perempuan saudaraku dan masih perawan(anak dara)’.” Beliau kemudian bersabda:
“Apabila seorang wanita telah sampai usia baligh maka tidak boleh ia menampakkan anggota badanya kecuali wajahnya dan selain ini –digenggamnya pergelangan tangannya sendiri– dan dibiarkannya genggaman antara telapak tangan yang satu dengan genggaman terhadap telapak tangan yang lainnya.” [HR. Ath-Thabari dari ‘Aisyah r.a.].
Hadits yang diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyah r.a. ini yang dijadikan dalil oleh sebahagian ulama yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan mahram. Namun demikian kebolehan tersebut dengan syarat tidak disertai syahwat. Kalau ada syahwat maka hukumnya haram.
Kedua, diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a. yang berkata:
“Seorang wanita mengisyaratkan sebuah buku dari belakang tabir dengan tangannya kepada Nabi Saw. Beliau lalu memegang tangan itu seraya berkata, ‘Aku tidak tahu ini tangan seorang laki-laki atau tangan seorang wanita.’ Dari belakang tabir wanita itu menjawab. ‘Ini tangan seorang wanita’. Nabi bersabda, ‘Kalau engkau seorang wanita, mestinya kau robah warna kukumu (dengan inai).” [HR. Abu Daud].
Sikap Kita Dalam Menghadapi Perbezaan Tersebut
Dalam menghadpi perbezaan tersebut dan pendapat mana yang harus kita ikuti untuk kita amalkan, maka kita harus mengkaji terlebih dahulu pendapat manakah yang lebih kuat dalam hal ini. Untuk itu kita perlu mengkaji manakah dalil yang lebih kuat dari nash-nash yang seolah-olah bertentangan yang digunakan oleh kedua pendapat di atas. Kalau kita perhatikan hadit-hadits yang digunakan oleh kedua pendapat adalah hadits-hadits shahih yang harus diterima kebenarannya. Dalam mensikapi hadits-hadits yang dzahirnya seolah-olah bertentangan, menurut ilmu hadits dan ushul fiqh harus ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:
1. Thariqatul jam’i, yakni menggabungkan dan mengkompromikan dalil-dalil yang ada. Apabila langkah ini tidak bisa dilakukan baru menempuh
2. Nasikh dan Mansukh, apabila tidak bisa dilakukan, ditempuh
3. Tarjih, yakni dengan cara meneliti dan membandingkan mana dalil yang lebih kuat. Dalam hal ini harus dilakukan secara cermat dan teliti serta harus memperhatikan kaidah-kaidah tarjih yang telah digariskan oleh para ulama. Kalau langkah ini sulit dilakukan kerana sama-sama kuat atau masih kabur baru menempuh langkah terakhir
4. Tawaqquf, yaitu menghentikan kajian dalam menggali hukumnya. Namun terus berusaha sampai Allah SWT membukakan persoalan tersebut untuk diketahui. (Lihat Dr. Mahmud Thahan, Taisir Musthalah Hadits, hal. 58).
referensi : http://bahrulfikri.wordpress.com
berhati-hati itu jauh lebih baik dari pada adu argumen. laki-laki dan wanita yang tidak mengobral jabatan tangan itu lebih dihargai oleh lawan jenisnya.
ReplyDeleteberhati-hati itu jauh lebih baik, laki-laki dan wanita yang tdk mengobrala berjabattangan itu lebih dihargai oleh lawan jenisnya.
ReplyDelete