Dalam lintasan sejarah kenabian, nama Nabi Ibrahim Alaihissalam , merupakan nama yang sudah tidak asing lagi bagi umat Islam. Selain dikenal sebagai salah seorang rasul ulul azmi (yang memiliki keteguhan), beliau juga sering disebut sebagai Khalilullah (kekasih Allah), dan Abul Anbiya' (bapaknya para nabi). Tulisan singkat ini memberikan sedikit gambaran tentang perilaku kehidupan beliau untuk kemudian nantinya bisa kita teladani. Namun karena terbatas, kami sampaikan pokok-pokoknya saja.
Kritis terhadap lingkungan
Nabi Ibrahim Alaihissalam di lahirkan diling-kungan penyembah berhala, termasuk bapaknya sendiri, Azar, namun ternyata lingkungan tidak memberi pengaruh terhadap dirinya. Hal ini dikarenakan sikap kritis yang beliau miliki. Suatu ketika beliau bertanya kepada bapaknya tentang penyembahan berhala ini. Sebagaimana dalam firman Allah: "Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim ber-kata kepada bapaknya Aazar: "Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai ilah-ilah. Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata". (Al-An'am: 74)
Demikianlah kesesatan tetaplah beliau katakan sebagai kesesatan meskipun itu dihadapan ayahnya sendiri, sehingga dalam riwayat lain beliau akhirnya diusir oleh sang ayah. Sikap Nabi Ibrahim tidaklah berhenti disini, namun dilanjutkan dengan mencari siapakah sesembahan (Ilah) yang sebenarnya. Tatakla ia melihat bintang ia katakan "Inilah Tuhanku," namun ketika bintang itu tenggelam ia berkata: "Saya tidak suka yang tenggelam", demikian juga ketika melihat bulan dan matahari sama seperti itu. Akhirnya karena merasa bahwa benda-benda di alam ini tak ada yang pantas untuk disembah maka ia berkata, sebagaimana dalam firman Allah, yang artinya: "Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan."
Kisah ini membuktikan bahwa hanya dengan mengikuti akal sehat dan hati nurani saja (fitrah) ternyata beliau mampu menjadi muslim yang muwahid (lurus tauhidnya) meski lingkungan yang ada tidak mendukung. Dan ini menunjukan bahwa fitrah manusia pada dasarnya adalah bertauhid. Lalu bagaimana dengan kita umat Islam sekarang ini, bukankah selain memiliki akal dan hati nurani kita juga mempunyai pembimbing berupa Al-Qur'an dan As-Sunnah. Masihkah kita akan menutupi kemusyrikan , kebid'ahan dan kemungkaran-kemungkaran yang kita lakukan dengan alasan lingkungan? atau sudah tradisi?
Cerdas, diplomatis dan pemberani
Hal ini dibuktikan ketika beliau berhadapan dengan penguasa musyrik saat itu yang bernama Namrudz, raja Babilonia. Firman Allah, artinya: "Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Rabbnya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: "Rabbku ialah yang menghidupkan dan mematikan". Orang itu berkata: "Saya dapat menghidupkan dan mematikan". Ibrahim berkata: "Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat," lalu heran terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (Al-Baqarah: 258)
Dalam tafsir di sebutkan bahwa yang di maksud orang yang diberi kekuasaan adalah Namrudz, kemudian arti ucapannya: "Saya dapat menghidupkan dan mematikan" ialah membiarkan hidup seseorang dan membunuh yang lainya. Sadar menghadapi orang yang punya kekuasaan yang bisa bertindak apa saja semaunya maka Nabi Ibrahim lalu menyampaikan hujjah yang sekiranya membuatnya diam, yakni disuruh ia menerbitkan matahari dari barat, jika memang bisa dan punya kekuasaan.
Kecerdasan Nabi Ibrahim juga tertuang dalam kisah lainya yakni tatkala ia menghancurkan berhala-berhala para musyrikin ia sisakan satu berhala yang terbesar. Hal ini tentunya bukan dengan tanpa tujuan. Ketika dalam persidangan iapun ditanya tentang siapa yang menghancurkan berhala-berhala itu. Nabi Ibrahim menjawab: "Tanyakan saja kepada berhala yang paling besar yang belum rusak! Sebenarnya jika para musyrikin itu mau menggunakan otaknya mereka sudah tahu dengan maksud perkataan Nabi Ibrahim tersebut. Namun karena kebodohan mereka merekapun balik mengumpat: "Bagaimana kami bertanya kepadanya, bukankah dia itu hanyalah patung benda mati? Maka dijawab lagi oleh Nabi Ibrahim dengan yang lebih tegas: "Jika sudah tahu itu benda mati mengapa kalian sembah?"
Inilah bukti kecerdasan dan kehebatan beliau dalam berdiplomasi. Memang banyak orang cerdas pemikirannya, namun jika sudah berhadapan dengan penguasa, maka terkadang tidak begitu terlihat kehebatannya bahkan justru yang dilakukan adalah minta petunjuk.
Memiliki ketaatan luar biasa
Sengaja disini kami tulis dengan luar biasa karena memang tidak dimiliki dan tidak bisa dimiliki oleh manusia-manusia biasa seperti kita. Mari kita renungkan arti firman Allah berikut ini yang mengisah-kan tentang perintah penyembelihan Nabi Isma'il: "Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelih-mu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". (Ash-Shaffat: 102) Perintah menyembelih anak bukan-lah perintah sembarangan, namun demikian Nabi Ibrahim tetap saja mengerjakannya, walaupun akhirnya diganti oleh Allah dengan seekor domba. Jika bukan karena ketaatan yang luar biasa maka tentu Nabi Ibrahim tak sanggup untuk mengerjakannya, demikian pula dengan Nabi Isma'il yang akan disembelih, beliau pun persis seperti ayahnya, pasrah (Islam) terha-dap apa yang diwahyukan Allah.
Dimuka telah kami sampaikan bahwa beliau adalah seorang yang kritis, cerdas dan diplomatis serta pemberani. Namun itu semua sama sekali tidak berlaku di hadapan Allah. Mestinya dengan sikap kritis dan kecerdasannya ia bisa menolak perintah itu dengan mengatakan bahwa perintah itu tidak masuk akal dan diluar kebiasaan atau kemampuan. Jika tidak, sebagai seorang yang diplomatis ia bisa menyampikan alasan-alasan tertentu untuk berkelit dari printah itu atau minimal minta diganti perintah lain yang lebih ringan, bukankah ia seorang nabi yang jika meminta sesuatu pasti dikabulkan? Akan tetapi kaum muslimin, beliau bukanlah tipe manusia seperti kita yang ketaatanya hanya setebal kulit ari, dan sangat mudah terhampas oleh tiupan badai. Jika bukan karena rahmat Allah kita tak punya kekuatan apa-apa untuk mempertahankannya. Rupanya yang ada dalam diri Nabi Ibrahim ketika berhadapan dengan perintah Allah adalah Sami'na wa atha'na ya dan ya. Tak pernah ada kata 'tidak', 'nanti saja' atau 'perlu analisa dulu', dengan tujuan supaya bebas darinya. Demikianlah ciri-ciri muslim dan mukmin sejati.
Hal ini sesuai dengan firman Alllah:"Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetappkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." (Al-Ahzab: 36) Memang begitulah idealnya seorang di sebut sebagai mukmin. Jika Al Qur'an atau Sunnah mengatakan salah dan haram maka seperti itu pula yang ia katakan. Jika memerintahkan sesuatu maka itulah yang ia kerjakan dan jika melarang sesuatu pantangan jangankan dia mengerjakan, mendekati saja tidak akan mau. Sungguh Allah Maha Tahu bahwa seorang hamba tak akan sanggup untuk menyembelih anaknya dan seandainya pun yang diperintahkan Allah hanya ini saja dan tidak ada perintah-perintah lain maka tetap saja dan kita tak akan mampu melakukannya. Dan tiadalah suatu larangan Allah kecuali di situ terdapat sesuatu yang merugikan dan membawa petaka, oleh karenanya wajib untuk di jauhi.
Dan masih banyak sebenarnya teladan yang bisa diambil dari sirah Nabi Ibrahim ini. Namun karena keterbatasan tempat maka tidak bisa untuk disampaikan semuanya, diantaranya yang terpenting adalah ketegasan beliau terhadap kemusyrikan dan kekafiran. Seperti yang tersebut dalam Al-Qur'an Surat Az-Zurkhruf 26-27.
Pelajaran yang bisa diambil
a. Seseorang tidak boleh melakukan kesyirikan/ kebid'ahan hanya dengan alasan lingkungan, karena telah ada Al Qur'an dan As Sunnah sebagai petunjuk.
b. Seseorang da'i dituntut memiliki sifat yang cerdas, kritis, peka terhadap lingkungan, bisa bertukar pendapat dengan baik dan pemberani.
c. Kecerdasan dan intelektualitas bukan penghalang bagi seseorang untuk berlaku taat kepada Allah. Bahkan akal harus tunduk terhadap wahyu.
d. Hikmah dari perintah penyembelihan nabi Ismail adalah disyariatkanya ibadah kurban.
e. Tegas terhadap kemusyrikan dan kekafiran adalah sikap yang harus dimiliki setiap muslim.
Oleh karenanya wahai kaum muslimin, akankah lingkungan terus menerus kita kambinghitamkan untuk mempertahankan sebuah kesalahan atau tradisi yang menyimpang, ataukah dengan kecerdasan dan intelektual yang kita miliki kita akan mencoba membelokkan makna ayat-ayat Allah atau menafsiri semaunya dan dikatakan sudah tidak relevan lagi. Ingat! Nabi Ibrahim adalah orang yang sangat cerdas , namun ia berubah menjadi orang yang sangat bodoh (karena taat) ketika berhadapan dengan wahyu, sehingga ketika disuruh menyembelih putranya ia pun bersedia melakukannya tanpa banyak berpikir panjang.
Dimanakah muslim yang berjiwa seperti nabi Ibrahim ini? memang kita tak akan bisa seperti beliau namun setidaknya kita harus berusaha menjadi muslim yang taat dan tidak banyak membantah walau belum mampu untuk melakukannya. Wallahu A'lam bishawab. (Abu Lutfa Al-Banarani)
Maraji: Al-Qur'an tafsir Bayan, Mushaf terjemah, Kitab Tauhid karya Syaikh At-Tamimi.
No comments:
Post a Comment