Semua orang Islam percaya bahwa memandang Allah itu adalah puncak segala kebahagiaan karena ada tercatat dalam hukum. Tetapi bagi kebanyakan orang, ini adalah berbicara di mulut saja yang tidak menimbulkan rasa dalam hati. Sebenarnyalah begitu karena bagaimana orang dapat menyintai sesuatu jika ia tidak tahu dan tidak kenal? Kita akan coba menunjukkan secara ringkas bagaimana memandang Allah itu puncak segala kebahagiaan yang bisa dicapai oleh manusia.
Pertama, tiap-tiap bakat atau anggota manusia itu ada tugas-tugasnya masing-masing dan ia merasa tertarik dan suka menjalankan tugas itu. Ini serupa saja sejak dari kehendak badan yang paling rendah hinggalah kepada pengetahuan akal yang paling tinggi. Usaha mental(otak) yang paling rendah pun mendatangkan ketertarikkan yang lebih dari hanya memuaskan kehendak badan saja. Kadang-kadang seseorang yang khusuk bermain catur tidak mau makan meskipun ia berkali-kali dipanggil untuk makan.
Makin tinggi perkara pengetahuan kita itu, maka makin bertambah menarik dan sukalah kita mengusahakan perkara itu. Misalnya kita lebih berminat untuk mengetahui rahsia Sultan dan rahsia menteri. Dengan demikian, oleh karena Allah itu adalah objek atau perkara pengetahuan yang paling tinggi, maka mengenal atau mengetahui Allah itu mestilah memberi kebahagiaan dan kelazatan lebih daripada yang lain-lain. Orang yang mengetahui dan mengenal Allah walaupun dalam dunia ini. seolah-olah di dalam syurga, "luasnya seperti luas langit" (Al-Qur'an) buah-buahan bebas untuk dipetik, dalam lebarnya tidak disempitkan oleh penghuninya yang ramai itu.
Tetapi kenikmatan ilmu atau pengetahuan masih tidak menyamai atau menyerupai kenikmatan pandangan sebagaimana ketertarikan kita dalam memikirkan mereka yang bercinta adalah lebih rendah daripada ketertarikan yang diberi oleh memandangnya dengan benar. Terpenjaranya kita dalam badan kita dari tanah dan air dan terbelenggu kita dalam perkara-perkara indera(pancaindera) menjadikan hijab yang melindungi kita daripada memandang Allah, meskipun tidak menghalang pencapaian kita kepada mengetahui dan mengenalNya. karena inilah Allah berfirman kepada Nabi Musa di Gunung Sinai;
"Engkau tidak akan dapat melihat aku" (al-Qur'an)
Hakikat perkara ini adalah demikian, yaitu sebagaimana benih manusia itu menjadi manusia, dan biji tamar menjadi pokok tamar, begitu jugalah mengenal Allah yang diperolehi di dunia ini akan bertukar menjadi "Memandang Allah" di akhirat kelak, dan mereka yang tidak mempelajari pengetahuan itu tidak akan mendapat pandangan itu. Pandangan ini tidak akan dibagi-bagikan sama rata kepada mereka yang tahu tetapi "konsep pemahaman" mereka tentangnya akan berbeda-beda sebagaimana ilmu mereka.
Allah itu Satu tetapi ia kelihatan dengan berbagai-bagai cara, sebagaimana satu benda itu terbayang dalam berbagai cara dalam berbagai cermin. Ada yang lurus, ada yang bengkok, ada yang terang dan ada yang gelap. Sesuatu cermin itu mungkin terlalu bengkok dan ini menjadikan bentuk-bentuk yang cantik kelihatan buruk dalam cermin itu. Seseorang manusia itu mungkin membawa ke akhirat hati yang gelap dan bengkok, dan dengan itu pandangan yang menjadi punca kedamaian dan kebahagiaan kepada orang lain, akan menjadi sumber kesengsaraan dan kedukaan kepadanya.
Orang yang Menyintai Allah sepenuh hati dan Cintanya kepada Allah melebihi Cintanya kepada yang lain akan memperolehi lebih banyak kebahagiaan daripada pandangan melebihi daripada mereka yang dalam hatinya tidak ada pandagan ini. Umpama dua orang yang kekuatan matanya sama saja memandang kepada muka yang cantik. Orang yang telah ada cintanya kepada orang yang memiliki muka itu akan merasa tertarik dan bahagia memandang muka itu melebihi dari orang yang tidak ada cintanya kepada orang yang mempunyai muka itu. Untuk kebahagiaan yang sempurna, ilmu saja tidak tidaklah cukup. Ianya hendaklah disertakan dengan Cinta. Cinta kepada Allah itu tidak akan tercapai selagi hati itu tidak dibersihkan daripada cinta kepada dunia. Pembersihan ini dapat dilakukan dengan menahan diri dari hawa nafsu yang rendah dan bersikap zuhud.
Semasa dalam dunia ini, keadaan seseorang itu terhadap "Memandang Allah" adalah ibarat orang yang cinta yang melihat muka orang yang yang dicintai dalam waktu senjakala dan pakaiannya penuh dengan penyengat dan kala yang sentiasa menggigitnya. Tetapi sekiranya matahari terbit dan menunjukkan muka yang dicintai dengan segala keindahannya, dan penyengat serta kala itu telah lari darinya, maka kebahagiaan orang yang cinta itu adalah seperti hamba Allah yang terlepas dari gelap senja dan azab cobaan di dunia ini, lalu melihat dia tanpa hijab lagi.
Abu Sulaiman berkata;
"Siapa yang sibuk dengan dirinya sendiri saja di dunia ini, akan sibuk juga dengan dirinya di akhirat kelak; dan siapa yang sibuk dengan Allah di dunia ini akan sibuk juga dengan Allah di akhirat kelak".
Yahya bin Mu'adz menceritakan;
"Saya lihat Abu Yazid Bustomin sembahyang sepanjang malam. apabila beliau telah habis sembahyang, beliau berdoa dan berkata; "Oh Tuhan!!! Setengah dari hambaMu meminta padaMu kuasa untuk membuat sesuatu yang luar biasa(karamat) seperti berjalan di atas air, terbang di udara; tetapi aku tidak meminta itu; ada pula yang meminta harta karun, tetapi aku tidak meminta itu; kemudian ia memalingkan mukanya dan setelah dilihatnya saya, ia berkata; "Kamu di situ Yahya?" Saya menjawab; "Ya!" Beliau bertanya lagi; "Sejak bila?" Saya menjawab; "Telah lama saya di sini" Kemudian saya bertanya dan beliau menceritakan kepada saya setengah daripada pengalaman keruhaniannya.
"Saya akan menceritakan" Jawab beliau. "Apa yang boleh saya ceritakan kepadamu, Allah Subhahahuwa Taala menunjukkan aku kerajaanNya dari yang paling tinggi hingga ke paling rendah. DiangkatNya saya melampaui Arash dan Kursi dan tujuh petala langitnya, kemudian Ia(Allah) berkata; "Pintalah kepadaKu apa saja yang engkau kehendaki". Saya menjawab; "Ya Allah!!! tidak akan saya minta apa pun melainkan Engkau". JawabNya(Allah); "Sesungguhnya engkau hambaKu yang sebenar".
Pada suatu ketika pula Abu Yazid berkata;
"Sekiranya Allah mengurniakan engkau kehampiran denganNya seperti Ibrahim, kekuasaan Sholat Musa, keruhanian 'Isa, namun wajahmu hadapkanlah kepada Dia saja karena ia ada harta yang melampaui segala-galanya itu"
Suatu hari seorang sahabatnya berkata kepada beliau; "Selama tiga puluh tahun saya puasa di siang hari dan sembahyang di malam hari tetapi saya tidak dapati kelazatan keruhanian yang engkau katakan itu".
Abu Yazid menjawab; "Jika engkau puasa dan sembahyang selama tiga ratus tahun pun, engkau tidak akan mendapatkannya".
Sahabatnnya berkata; "Bagaimanakah itu?"
Kata Abu Yazid; "obatnya ada tetapi engkau tidak akan sanggup menelannya obat itu". Tetapi oleh karena sahabatna itu bersungguh-sungguh benar memminta supaya diceritakan, Abu Yazid pun berkata; "Pergilah kepada tukang gunting dan cukurlah janggutmu itu; buangkan pakaianmu itu kecuali seluar dalam saja. Ambil satu kampit penuh yang berisi "Siapa yang mahu menempeleng kuduk leherku dia akan mendapat buah ini" Kemudian dalam keadaan ini pergilah kepada Kadi dan ahli syariat dan berkata; "Berkatilah Ruhku".
Kata sahabatnya; "Tidak sanggup saya berbuat demikian, berilah saya cara yang lain".
Abu Yazid pun berkata; "Inilah saja caranya, tetapi seperti yang telah saya katakan kamu ini tidak dapat diobat lagi".
Sebab Abu Yazid berkata demikian kepada orang itu ialah karena orang itu sebenarnya pencari pangkat dan kedudukan. Bercita-cita hendak pangkat dan kedudukan seperti bersikap sombong dan bangga adalah penyakit yang hanya dapat diobat dengan cara yang demikian itu.
Allah berfirman kepada Nabi 'Isa;
"Wahai 'Isa! Apabila Aku lihat dalam hati hambaKu cinta suci murni kepadaKu tanpa dicampur aduk dengan kepentingan diri sendiri terhadap perkara dunia atau akhirat, maka Aku menjadi Penjaga kepada Cinta itu".
Apabila orang bertanya kepada Nabi 'Isa; "Apakah kerja yang paling tinggi sekali darjatnya?" Beliau menjawab; "Mencintai Allah dan tunduk kepadaNya".
Suatu ketika orang bertanya kepada Wali Allah bernama Rabi'atul Adawiyah sama ada beliau cinta kepada Nabi Muhammad SAW. Beliau menjawab; "Cinta kepada Allah menghalang aku cinta kepada makhluk".
Ibrahim bin Adham dalam doanya berkata; "Ya Allah! pada mataku syurga itu sendiri lebih kecil dari agas jika dibandingkan dengan Cintaku terhadapMu dan kelazatan mengingatiMu yang Engkau telah kurniakan kepadaku".
Siapa yang menganggap ada kemungkinan menikmati kebahagiaan di akhirat tanpa mencintai Allah adalah orang yang telah jauh sesat anggapannya, karena segala-galanya di akhirat itu adalah kembali kepada Allah dan Allah itulah matlamat yang dituju dan dicapai setelah melalui halangan yang tidak terhingga banyaknya. Nikmat memandang Allah itu adalah kebahagiaan. Jika seseorang itu tidak suka kepada Allah di sini, maka di sana pun ia tidak suka juga kepada Allah. Jika sedikit saja sukanya kepada Allah di sini, maka sedikit jugalah sukanya kepada Allah di sana. Pendeknya, kebahagiaan kita di akhirat adalah bersesuaian dengan kadar Cintanya kita kepada Allah di dunia ini.
Sebaliknya jika dalam hati manusia itu ada tumbuh cinta kepada apa saja yang berlawanan dengan Allah, maka keadaan hidup di akhirat sana akan berlainan dan ganjil sekali kepadanya dan dengan ini apa saja yang mendatangkan kebahagiaan kepada orang lain, akan mendatangkan 'azab sengsara kepadanya. Mudah-mudahan Allah lindungi kita dari terjadi sedemikian itu.
Ini bolehlah kita gambarkan dengan misalan seperti berikut;
Seorang pengangkut sampat-sarap pergi ke kedai yang menjual minyak wangi. Apabila beliau membawa bau-bauan yang harum wangi itu, ia pun jatuh dan tidak sadar diri. Orang pun datang hendak memberi pertolongan kepadanya. Air Ros dipercikkan kemukanya dan dihidungnya diletakkan kasturi. Tetapi beliau bertambah teruk. Akhirnya datanglah seorang pengangkut sampah juga, lalu diletakkan sedikit sampah kotor di bawah hidung orang yang pengsan itu. Dengan segera orang itu pun sadar semula sambil berseru dengan rasa puas hati, "Wah! Inilah sebenarnya wangi!"
Demikian jugalah, ahli dunia tidak akan menjumpai lagi karat dan kotor dunia ini diakhirat. Kelazatan keruhaniah alam sana berlainan sekali dan tidak sesuai dengan kehendaknya. Maka ini menjadikannya bertambah teruk dan sengsara lagi. karena alam sana itu adalah alam ruhaniah dan penzhohiran Jamal (keindahan) Allah Subhanahuwa Taala. Berbahagialah mereka yang ingin mencapai kebahagiaan di sana itu dan menyesuaikan dirinya dengan alam itu. Semua sikap zahud, menahan diri ibadah, menuntut ilmu adalah bertujuan untuk mencapai penyesuaian itu dan penyesuaian itu adalah cintanya. Inilah maksud Al-Quran:
"Berbahagialah orang yang mencucikan jiwanya".
Dosa dan maksiat berlawanan benar dengan penyesuaian ini. Oleh itulah termaktub dalam Al-Quran: "Sesungguhnya rugilah orang yang mengotori jiwanya." Orang yang dikurniai dengan mata keruhanian telah nampak hakikat ini dalam rasa pengalaman mereka bukan hanya kata-kata yang diterima turun-menurun sejak dahulu lagi. Pandangan mereka itu membawa kepercayaan bahwa orang yang berkata demikian adalah sebenarnya Nabi; ibarat orang yang mengkaji ilmu perobatan; akan tahu adakah orang yang bercakap berkenaan perobatan itu sebenarnya doktor atau pun bukan. Ini adalah jenis keyakinan yang tidak perlu disokong dengan mukjizat atau perbuatan yang mencarik adat karena yang demikian pun dapat dilakukan juga oleh tukang sihir atau tukang silap mata.
No comments:
Post a Comment