Satu Hari Istimewa Rara

“Enaknya jadi Rara,” batin Yeni sambil melirik ke arah teman karibnya. Sementara yang dilirik, masih dengan cuek mencomot baju di sana dan sini.

“Eh Yen, kok cuman ngeliatin mulu. Oh iya, kalau menurutmu baju yang oranye ini oke nggak? Kata Yogi sih karena kulitku item, nggak pas kalau pake baju warna beginian. Bener nggak sih?” celoteh Rara tent6ang komentar pacarnya yang cuman bikin Yeni makin geleng-geleng kepala.

“Udah dong Ra. Nggak jebol tuh duitnya entar?!”

“Halah nggak apa-apa. Lagian orang papi sendiri kok yang ngasiin duit sebagai hadiah karena aku udah bisa mempertahankan sepuluh besar. Hehe, ya berkat jasamu juga kok Yen. Atau…” Rara seperti tersentak sesuatu, “Yeni pengen baju yang mana juga nih. Mumpung aku lagi ada lho…” tawar Rara. Sesaat Rara tersadar kalau sahabat yang kini ada di sebalahnya itulah yang secara tak langsung telah berjasa membuat dirinya menerima hadiah kartu kredit.

Yeni cuma menggeleng. Memang, selama ini Yeni cukup loyal untuk membagi ilmu mentah maupun matang kepada sahabatnya. Alias, ya ilmu yang harus diajari dulu dan ilmu yang sudah jadi alias lagi, contekan! Dan kalau dihitung-hitung, apa yang diraih Rara memang kebanyakan berasal dari hasil jerih payahnya.

Dan kalau udah kayak begitu, imbalannya apalagi kalau bukan segala macam fasilitas wah yang dihujankan Rara untuk Yeni. Mulai dari sering ditraktir pas istirahat, dibeliin ini itu kalau pas belanja, sampai uang LKS pun tak jarang jadi tanggungan Rara. Yeni cuma menghela nafas. Yah mau gimana lagi, kondisi ekonominya memang tidak semujur Rara. Penghasilan bapak Yeni yang cuma tukang bangunan sebulannya saja bisa jadi senilai dengan uang jajan Rara hanya dalam satu hari!

“Yen, woi!” Rara memecahkan gelembung lamunan Yeni. “Ayo dong mau beli apa. Lagian juga mumpung banyak diskon nih.” Ditatapnya wajah sahabatnya yang justru malah melihat kebingungan melihat ke arah belanjaan yang ada di troli.

“Ih, gila kamu Ra! Itu kan udah banyak banget!”

Rara justru tertawa terbahak-bahak karena geli. “Oke, iya aku ngaku kalau aku udah kebangetan. Habisnya nggak tahan sih ngelihat baju yang lucu-lucu gitu. Mana pada diskon lagi. Oke, ini udah cukup deh. Tapi sekali lagi ya Yen, sekarang kamu mau beli apa? Atau mau jalan ke tempat lain? Yuk, yang penting kamu nemuin baju yang cocok juga,” tawar Rara.

“Nggak ah, Ra. Baju yang minggu kemarin kamu beliin juga masih belum aku buka labelnya. Kapan-kapan aja deh,” elak Yeni.

Yeni masih ingat ketika tahu ekspresi Mamak yang terbelalak waktu melihat mini shirt yang dibelikan Rara untuknya. “Ya ampun Yen, baju sekecil ini saja harganya seratus ribu lebih?! Apa istimewanya?” Mamak terlihat benar-benar kaget sambil nggak berhenti geleng-geleng kepala.

“Yeni nggak beli sendiri ko Mak. Itu dibeliin sama Rara tadi,” jujur aku Yeni.

“”Waduh Yen, uang segitu tuh bisa buat makan kita satu keluarga, buat satu minggu barangkali ya?! Besok lagi, mending kamu minta mentahannya saja deh daripada buat beli baju seukuran badan adekmu begini. Ih, kalau sampai nih baju kamu jemur terus orang-orang pada tahu harganya, Mamak yakin, pasti sebentar lagi langsung hilang,” cerocos Mamak.

Hati Yeni yang awalnya senang dengan pemberian baju itu langsung mencelos. Yah, nilai harga baju itu memang sama dengan nilai makan mereka satu keluarga selama sebulan. Membayangkan yang dikatakan oleh Mamak saja bahkan tidak pernah terlintas dalam benak Yeni. Iya, di ruli atau istilah singkatan untuk rumah liar di Batam ini, menjemur baju bisa jadi asal di mana saja. Nggak pernah kebayang dalam benak Yeni kalau baju itu bisa dilirik oleh tetangga-tetangganya yang lain. Dan tiba-tiba, rasanya Yeni merasa ia sudah begitu tega ikut-ikutan berfoya-foya di atas penderitaan keluarganya.

“Yen daripada ngelamun, minta tolong pegangin troli sebentar dong. Aku mau telepon pak sopir buat ngejemput kita,” tangan Rara kemudian mengambil handphone 3G terbaru yang juga baru dibelinya beberapa hari lalu. Glek, lagi-lagi Yeni hanya bisa mengeluh, kenapa semua yang dimiliki Rara selalu membuatnya ingin ikut memilikinya.

“Hah, nggak bisa Pak? Aduh, padahal sekarang udah hujan deras nih. Kenapa pakai acara ban kempes segala sih Pak?!” Rara tampak panik sambil menyimpan kembali hpnya ke dalam tas.

“Gawat Yen, kita harus pulang pakai taksi. Tapi… kamu ke rumahku dulu aja ya. Nanti biar aku anter pakai mobil papa. Baru jam enam nanti sih papa pulangnya. Nggak apa-apa kan?”

Yeni hanya bisa menjawab dengan anggukan pasrah. Yah, habis mau gimana lagi. Ia memang sudah tidak punya uang untuk ongkos pulang. Lagipula, awalnya tadi Rara-lah yang berjanji mau mengantarnya pulang. Akhirnya Yeni cuma bisa menggangguk pasrah. Untung hari ini ia sudah pesan ke Dian adiknya untuk kali ini agar membantu mamak menjaga kantin di sebuah komplek perusahaan, usaha yang jadi satu dari sekian mata pencaharian keluarga mereka. Bapak sendiri cuma seorang kuli bangunan dari satu proyek ke proyek lain.

“Tuh kan ngelamun lagi. Kamu tuh ya Yen, kalau emang ada baju yang kamu suka kenapa nggak bilang sih?! Yuk, mumpung kita masih di dalam mall,” Rara nggak henti-hentinya menawarkan diri. “Atau pengen makan roti kesukaan kamu kayak biasanya?”

Yeni cuma menggeleng lagi.

“Hehe, aku tahu. Kamu mau M ya… Habisnya dari tadi kayak orang nggak ada semangat. Iya kan?”

Yeni diam sebentar. “Hehe… iya kali ya. Nggak tahu nih bawaannya dari tadi mello melulu, jadi nggak ada semangat gitu deh.”

“Heah, kamu tuh Yen, ada-ada aja. Sekarang kita nunggu di halte aja yuk. Tuh, mumpung hujannya nggak seberapa lebat. Fuih, kenapa juga sih mall sebesar ini nggak punya taxi corner sendiri. Pake acara harus jalan dulu keluar mall lagi!” umpat Rara kesal.

Akhirnya Yeni berlari bersama Rara ke arah halte. Tapi baru saja mereka menginjakkan kaki di halte, tiba-tiba… byur…! Hujan pun kembali mengguyur area mall. Orang-orang yang semula memberanikan diri menerjang rintik hujan akhirnya berusaha menyelematkan diri ke arah halte. Jadilah Yeni dan Rara harus berdesak-desakkan bersama orang-orang yang juga ingin berteduh di halte yang besarnya tak seberapa mampu melindungi mereka dari angin yang meniupkan air hujan.

Rara melirik ke samping kanan dan kirinya. Ada karyawan mall yang akan pulang ke rumahnya setelah usai bekerja, ada tukang bakso, ada tukang ojek yang hanya bisa pasrah membiarkan motornya basah terguyur air hujan, atau ada ibu-ibu yang berusaha semaksimal mungkin melindungi anaknya dari percikan air hujan.

Pemandangan seperti itu sebetulnya tidaklah langka bagi Rara. Tapi, baru kali inilah ia merasakan begitu dekat dengan mereka yang mengalaminya. “Ah, tapi aku sendiri juga nggak kalah susahnya dari mereka. Lihat saja, aku membawa banyak barang bawaan dan sekarang sama-sama dengan mereka terjebak di dalam halte. Mana dari tadi taksi kok ya nggak ada yang lewat sih!” rutuk Rara dalam hati.

“Oalah hujan… Gimana dagangan aku bisa habis kalau seperti ini,” keluh tukang bakso sambil melap percikan demi percikan air yang mengenai wajahnya. Pria tukang bakso itu memang kurang begitu mujur karena hanya bisa mendapat bagian di tepi halte. Gerobak baksonya lebih tidak mujur lagi karena habis-habisan tersiram air hujan.

Sedangkan anak yang digendong oleh ibu yang berdiri tak jauh dari Rara, yang sebetulnya sudah dari tadi terus merengek, kini benar-benar meledak tangisnya. Bila Rara hanya bisa melongo, Yeni sudah lebih dulu berinisiatif bertanya. “Sakit?” tanya Yeni.

“Iya nak, ini sebetulnya mau ngantar dia berobat dulu. Tapi kalau hujan macam gini, mana bisa ngajak dia naik ojek. Badannya panas dari semalam, makanya rewel terus,” keluh si ibu.

“Kenapa nggak naik taksi aja Bu,” sahut Rara.

“Aduh nak, mana ada uang ibu ini kalau naik taksi. Kalau sama tetangga saya ini kan paling cuma bayar berapa,” kata si ibu lagi sambil memandang ke arah seorang tukang ojek yang ternyata tetangga dari si ibu dan akan mengantar mereka ke rumah sakit.

“Nanti kalau ada taksi, kamu mau nggak Ra mengalah dulu untuk mengantarkan si ibu ke rumah sakit? Kasihan Ra…” pinta Yeni memelas.

Rara refleks mengangguk. Belanjaannya toh kalaupun basah nggak akan ada bandingannya seperti nyawa dari bayi itu, itu yang ada di pikiran Rara. Dan sepertinya Tuhan seakan menjawab doa baik mereka agar segera ada taksi yang datang mendekati halte tempat mereka bernaung.

“Pak taksi…” panggil Yeni melambai dan membuat sebagian besar tubuhnya kebasahan diterjang oleh air hujan. “Ayo Bu, kita antar saja deh ke rumah sakit pakai taksi ini,” Yeni dengan sigap menarik sang ibu ke dalam taksi setelah sebelumnya melempar semua belanjaanya ke kursi taksi bagian depan kemudian mencopot kardigannya menutupi sang ibu.

“Aduh nak tapi…” sang ibu bergerak ragu.

“Nggak apa-apa Bu, saya yang nanggung. Pak, ibu ini biar saya antar saja ya.” Begitu cepat Yeni bergerak sehingga Rara akhirnya hanya bisa masuk ke dalam taksi bagian belakang menemani sang ibu yang masih berusaha menenangkan bayinya.

Secepat itu juga taksi akhirnya bisa membawa mereka ke rumah sakit dengan Rara yang masih termangu atas apa yang dialaminya barusan dan saat ini. Ketika Yeni meminta ini itu hingga agar Rara mau membiayai pengobatan sang anak dan memberikan sejumlah uang untuk sang ibu, Rara seakan-akan tersihir dan mau menuruti itu semua.

Kini, Rara dan Yeni kembali berada dalam taksi yang namun kini akan membawa mereka pulang ke rumah Rara. “Aduh Ra, makasih banyak ya. Kamu udah mau banget menolong ibu itu tadi. Makasih… Tapi aku juga minta maaf lho, kamu jadinya harus keluar uang banyak. Tapi nggak papa kan, daripada aku minta beliin kaos yang harganya juga bisa sama sejumlah uang yang tadi kamu keluarkan. Nggak papa kan?” Yeni menggenggam tangan Rara.

Rara menggeleng tersenyum.

“Kamu tahu nggak Ra, ibuku dulu pernah mengalami seperti apa yang dialami sama ibu tadi lho. Dulu pas aku masih kelas satu SD, aku ingat ibuku pontang panting bingungnya membawa adekku ke rumah sakit karena panasnya udah tinggi dan sampai-sampai step. Wah, pokoknya parah banget deh. Dan karena kita telat membawa adek ke rumah sakit, akhirnya adekku nggak ketolong,” kini cerita Yeni sudah membuat kedua matanya basah karena sedih dan bukan lagi karena percikan air hujan seperti sebelumnya.

“Lho, berarti seharusnya Dian itu punya dua kakak ya?”

“Iya. Aduh, sori deh Ra, aku masih kebawa mello nih. Tadi pas di halte, aku juga sedih lihat tukang bakso yang tadi sedikit kehujanan itu. Jadi ingat sama dagangan Mamak. Biasanya kalau sampai nggak habis makanan yang kita jual, kita sampai harus memakan sendiri makanan-makanan itu. Ya otomatis, penghasilan keluarga jadi berkurang. Ah, udah deh… Sori ya aku jadinya kok curhat ke kamu nih. Hehe, kebawa mello mulu karena mau M,” Yeni jadi malu sendiri.

Sedangkan Rara cuman bisa terdiam. Sebetulnya sudah lama ia tahu kondisi keluarga Yeni sahabatnya itu. Tapi semua itu nggak pernah terbayang jelas sebelumnya jika saja ia tidak merasakan pengalaman yang baru saja dialaminya.

“Yen…” Rara makin menggenggam tangan sahabatnya. “Makasih ya… Kamu udah nyadarin aku.”

“Lho, emang aku barusan ngelakuin apa ya?” Yeni kebingungan.

Tapi Rara justru malah memeluk sahabatnya itu dengan erat dan masih berujar, “Makasih banyak Yen…”

“Eh beneran, makasih karena apa nih? Bukannya aku yang justru makasih karena kamu udah nyelamatin seorang ibu dan anaknya?”

“Yen, kamu tahu nggak? Kamu dan pengalaman yang barusan aku alami itu bikin aku nyadar kalau uang itu begitu berharga banget ya?! Dengan uang segitu tadi buat nolong si ibu, aku malah biasanya make buat beli baju atau hal-hal yang kadang emang sebetulnya nggak penting sih.”

“Jadi benar nih udah mau tobat?” Yeni memandang nggak percaya.

“Iya… janji! Kamu mau kan ngingetin aku buat lebih make uang untuk hal-hal yang lebih berguna? Mau kan untuk jadi temanku yang mau ngingetin aku kalau ada apa-apa?”

“Mm…” Yeni seperti mencoba berpikir. “Oke… Aku juga sampai mau kok buat ngingetin kamu biar nggak gampang nyontek aku kalau ada apa-apa di pelajaran,” kata Yeni sambil tersenyum usil.

“Ah, jadi selama ini nggak ikhlas nih?” Rara pura-pura marah.

“Yeah… i just wanna to say, that’s what friends are for kan?!” sahut Yeni yang akhirnya bisa tersenyum.

1 comment:

  1. Halo bos...
    Tukeran link yuk dgn saya
    Blog saya : http://panduanbisnis1.blogspot.com
    Jika setuju, anchor teks sbb : "Panduan Bisnis Internet"
    Dan link anda sdh saya pasang di blog saya itu.

    Thanks

    ReplyDelete