Hukum Oposisi dalam Islam

Oposisi dalam bahasa Inggris; opposition. Dalam bahasa Latin: oppositus, opponere, (memperhadapkan, membantah, menyanggah, menentang) menurut pakar hukum dan politik diartikan sebagai kubu partai yang mempunyai pendirian bertentangan dengan garis kebijakan kelompok yang menjalankan pemerintahan. Oposisi bukan musuh, melainkan sparing patner dalam percaturan politik.

Dalam demokrasi, oposisi dianggap sesuatu yang sangat diperlukan, sehingga oposisi dalam parlemen melembaga secara resmi. Sebab oposisi menjalankan suatu fungsi yang sangat vital dan penting yaitu check and balances, mengontrol pemerintah yang didukung mayoritas, menguji kebijakan pemerintah dengan menunjukkan titik-titik kelemahannya, mengajukan alternatif. (Lihat, B.N. Marbun, SH., dalam Kamus Politik, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,1996, hal. 455-456, John M. Echols dan Hasan Shadili dalam Kamus Inggris-Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1992, hal. 407, Lorens Bagus dalam Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta 1996, hal. 754)

Dalam wacana politik Islam, oposisi (mu'aradhah) ditinjau dari dua aspek; doktrin kultural dan institusi struktural. Aspek doktrin kultural, menekankan bahwa oposisi bukan sekedar hak asasi, melainkan juga suatu kewajiban syari'ah dan tanggung jawab moral.

Seluruh nash (teks) al-Quran dan Sunnah Nabi serta arahan para Khulafa Rashidun membawa kepada konsekuensi logis mendorong umat Islam kepada sikap oposisi yang loyal (loyal opposition), konstruktif dan reformatif.

Karena, fokus dasar perintah syari'ah adalah Amar Ma'ruf dan Nahi Mungkar (memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran) yang diistilahkan oleh Imam Ghozali dalam Ihya 'Ulumuddin (vol. II/265) sebagai 'top sentral ajaran Islam' (al-Quth al-A'dzam Liddin) yang ditengarai oleh Saefuddin AF. Ismail telah dihapuskan dari konteks budaya politik praktis kontemporer dan hanya terbatas pada seruan dan himbauan moral sosial. (Tajdid Siyasi, hal. 364)

Berbagai krisis peradaban umat Israel bahkan menjadi bangsa terkena kutukan Allah, adalah karena mereka meninggalkan tugas penting kontrol moral ini.
Allah Berfirman: "Mereka satu sama lain tidak saling melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu". (QS.Al-Maidah:79)

Ini kebalikan watak Islam yang menjadikan amar ma'ruf dan nahi mungkar sebagai budaya dan mental umatnya sebagai modal pembentukan masyarakat madani berjaya yang Khairu Ummah (QS. Ali Imran:104, 110)

Karenanya, Nabi saw dalam berbagai haditsnya senantiasa memperingatkan umatnya untuk tidak mendiamkan apalagi melegitimasi kemungkaran, bahkan beliau mendorong umat Islam untuk siap berdiri di garda terdepan dalam perjuangan menentang segala bentuk kedzaliman.

Malik bin Nabi, filosuf Al-Jazair mengomentari hadits "Barang siapa diantara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah merubahnya dengan tangannya, bila tidak mampu dengan lisannya, bila tidak mampu dengan hatinya, dan itu selemah-lemah iman." (HR. Muslim, Ashab Sunan, Ahmad) mengatakan bahwa misi setiap muslim bukan sekedar mennjadi penonton dan pengamat terhadap realitas sejarah, akan tetapi berperan merubah alur peristiwa dengan mengembalikannya kepada jalur kebaikan seoptimal mungkin.(Tajdid Siyasi:72)

Pengalaman historis menurut sejarawan Inggris, Lord Action membuktikan bahwa manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung menyalahgunakan kekuasaannya, dan manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan bersikap otoriter dan menyalahgunakannya. Oleh karenanya perlu dibatasi yakni dengan kontrol hukum dan pembatasan kekuasaan yang disemangati amar maruf nahi mungkar sesuai dengnan prinsip dasar sharing of power dan checkand balances. Nabi SAW bersabda: "Kalian benar-benar serius melakukan amar makruf nahi mungkar atau Allah benar-benar akan kuasakan orang-orang jahat atas kalian, lalu orang-orang terbaik kalian berdoa (istighotsah) dan tidak akan dikabulkan." (HR.Tirmidzi, Tabrani, Bazzar)

"Penghulu para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan orang yang menghadapi penguasa lalim dengan memerintahkan kebaikan dan mencegahnya dari kemungkaran, lalu penguasa itu membunuhnya." (HR. Hakim) Bahkan Nabi menganggap keberanian sikap mengemukakan kebenaran kepada penguasa lalim merupakan jihad paling utama. "Menyatakan kebenaran kepada penguasa yang lalim merupakan jihad yang paling utama." (HR. Ibnu Majah)

Dalam implemnetasinya, para sahabat bersama Rasulullah Saw dan generasi salaf sangat komit dengan doktrin oposisi yang dijiwai semangat amar ma'ruf nahi munkar ini, dan hal itu bukan menjadi hal yang tabu serta asing bagi budaya sosial politik mereka. Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai pemerintah pertama sepeninggal Nabi Saw, adalah pelopor gerakan oposisi rakyat terhadap pemerintah dalam mengawasi roda pemerintahan, mengevalusuasi dan meluruskannya. Dalam pidato pengangkatannya setelah dibai'at rakyat sebagai khalifah beliau berkata: "Sesungguhnya aku telah diangkat sebagai pemerintah kalian dan saya mengakui bukan orang terbaik kalian. Maka jika saya berbuat baik dan bijak, hendaklah kalian dukung. Jika saya berbuat jelek, hendaklah kalian luruskan." (Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan Nihayah, vol.VI/264.

Demikian halnya Amirul Mukminin, Umar bin Khathab menyerukan: "Wahai rakyatku, siapapun yang melihat penyimpangan pada diriku, maka hendaklah ia meluruskannya." (Abdul Aziz Badri, Al-Islam bainal 'Ulama wal Hukkam, hal. 59)

Semua itu bukan retorika dan basa-basi politik, tetapi benar-benar terimplementasi secara konsekuen. Pada saat umat Islam membebaskan daerah Irak, Syam dan Mesir pada masa kekhalifahan Umar bin Khathab, timbullah gerakan oposisi di kalangan militer yang ikut membebaskan daerah tersebut terhadap kebijakan Umar tentang otonomi dan eksistensi daerah pembebasan yang tidak akan dibagikan kepada pasukan pembebasan mengingat proyeksi ke depan. Dengan sabar dan bertawakal kepada Allah akhirnya masalah tersebut dapat diselesaikan dengan damai dan mufakat.

Begitu Abu Bakar dibaiat sebagai Khalifah, sebagian sahabat menolak untuk memberikan baiat dan ikut dalam pemerintahannya serta memilih menjadi oposisi diantaranya adalah Saad bin Ubadah. Dan hal itu dilindungi oleh Abu Bakar. (Lihat, Dr. Muhammad Ammarah dalam Al-Islam wal Muaradhah As-Siyasiyah, pada majalah Al-Arabi, edisi Nopember 1992)

Bahkan dalam prakteknya, barisan oposisi justru kerap dipelopori oleh tokoh ulama besar yang sadar politik dan menjaga independensi institusi keulamaan untuk tetapo dipercaya umat sebagai panutan yang membendung arus sekulerisasi dalam pemerintahan. Diantaranya adalah Said bin Musayyib di Madinah, sebagaimana diriwayatkan ahli sejarah Islam klasik Adz-Dzahabi, dimana beliau menolak kesertaan dalam pemerintahan dan memberikan baiah kepada Abdul Malik bin Marwan pada masa pemerintahan Umawiyah. Meskipun sempat disiksa dengan 60 kali cambukan, dan pada kesempatan lain ditawari insentif serta suap 30.000 dinar, namun beliau tetap konsisten menolak untuk menjadi kroni pemerintah.

Suatu kali Umar bin Hubairah seorang gubernur pada masa pemerintahan Yazid bin Abdul Malik, memanggil para ulama seperti Hasan Al-Basri, Ibnu Sirin dan Syabi. Dia meminta fatwa berkitan dengan instruksi Yazid yang serba dilematis diungkapkannya: "Jika saya melaksanakannya, saya takut akan merusak imanku. Namun jika saya menolak saya mengkhawatirkan keamanan diriku." Maka para ulama itu menasehatinya dengan lembut dan berpesan agar tetap komitmen dalam ketakwaan kepada Allah dan menentang penguasa yang menyimpang dari kebenaran.

Imam Ghazali dalam Ihya-nya (vol.II/295) banyak mengungkap mentalitas elit umat dan ulama yang tetap konsisten bersikap oposisi dan menjaga jarak agar dapat mengontrol eksekutif diantaranya adalah sikap tegas Thawus Al-Yamani terhadap penguasa Hisyam bin Abdul Malik, Sufyan Tsauri terhadap Abu Jafar Al-Manshur, Fudhail bin Iyyadh terhadap Harun Ar-Rasyid yang terang-terangan mengatakan kepadanya: "Jauhilah korupsi terhadap hak rakyat, karena Rasulullah saw bersabda: "Barang siapa yang menipu rakyat tidak akan mencium bau surga"

Demikian pula sikap oposisi loyal Abu Yusuf terhadap Harun Ar-Rasyid yang memberikan alternatif kebijakan fiskal yang islami kepadanya, seraya menasehatinya untuk takut kepada Allah dalam amanat dan hak rakyat.", disamping itu nama-nama Abdullah bin Zubair, Imam Nawawi, Al-Izz bin Abdus Salam, dan Ibnu Taimiyah terkenal sebagai tokoh barisan oposisi dari kalangan ulama dari berbagai generasi.

Persolannya adalah dalam realitas politik kita, implementasi wacana oposisi perlu adanya reposisi dan reaktualisasi yang terkait dengan kelembagaan. Sebab, terjadi semacam ambiguitas makna legislatif yang harusnya semua anggota dewan legislatif bersikap oposisi terhadap eksekutif karena itu sudah menjadi fungsinya, tidak perlu dikotomi, yang duduk di parlemen dari unsur dan partai manapun entah yang berkuasa ataupun tidak berkuasa. Idealnya adalah partai yang berkuasa cukup menjadi MPR di samping duduk di eksekutif pemerintahan, bila tidak mau menjadi oposisi di legislatif. Sehinggga, DPR adalah sebagai perwujudan institusional struktural bagi barisan oposisi eksekutif yang berfungsi mengontrol, mengawasi dan meluruskan kebijakan pemerintah. (Lihat, Prof. Miriam Budiarjo dalam Dasar-Dasar Ilmu Politik dan Inu Kencana dalam Pengantar Ilmu Pemerintahan)

Adapun etika oposisi yang harus dipegang oleh semua pihak adalah etika amar maruf dan nahi mungkar, di samping etika perbedaan mendapat (Fiqhul Ikhtilaf). Karena, tujuan oposisi adalah meluruskan, memberikan in-put posistif dan memperbaiki, bukan menjatuhkan. Diantara landasan moral oposisi adalah sebagaimana yang dirangkum Yusuf Al-Qardhawi dalam Fiqh Ikhtilaf-nya (hal. 181) dan oleh Imam Ghozali dalam Ihya-nya (vol.II/270) adalah:

Ikhlas karena Allah serta demi kemaslahatan umat dan bangsa bukan karena nafsu.
Meninggalkan fanatisme terhadap individu, partai maupun golongan.
Berprasangka baik dan positif thinking terhadap orang lain.
Tidak menyakiti dan mencela
Menjauhi debat kusir dan ngotot tanpa argumentasi logis.
Dialog dengan cara sebaik-baiknya.
Bersikap adil dalam menilai dan bersikap
Memperhatikan skala prioritas (strata bobot penting masalah) masalah dan memakai fiqh muwazanah (Pertimbangan masak sisi maslahat dan madharat).
Mengedepankan persatuan dan menjauhi perpecahan
Arif, dewasa dan bijaksana serta mampu mengontrol emosi (QS.AN-Nahl:125)

Wallahu Alam wa Billahit Taufiq wal Hidayah

No comments:

Post a Comment